Apakah Chatbot AI Membantu Mengembangkan Rasa Ingin Tahu Anak atau Justru Membuat Mereka Ketergantungan?
Bagaimana desain AI (artificial intelligence) mempengaruhi rasa ingin tahu dan cara anak belajar
Click here to read the English edition.
Sebuah Jeda: Renungan Tentang AI (chatbot) dan Anak Kita
Minggu ini, saya ingin mengambil jeda dari format newsletter biasanya, untuk berbagi sesuatu yang lebih personal: sebuah momen kecil bersama anak saya yang membuat saya berpikir ulang tentang bagaimana AI mempengaruhi rasa ingin tahu anak di rumah.
Edisi ini saya namai Opini Orang Tua: ruang untuk bertanya lebih dalam, refleksi pengalaman pribadi, dan bertujuan untuk membangun koneksi dengan orang tua lain. Semoga ini bisa menjadi bahan renungan juga di rumah anda.
🧐Refleksi dari Momen Penuh Rasa Ingin Tau
Minggu lalu, saya dan anak saya yang masih TK lagi menonton video pendek tentang tidur, ketika dia bertanya, “REM itu apa ma?”
Pertanyaan yang sederhana, yang mengingatkan saya bahwa anak-anak itu selalu belajar, bahkan di saat tak terduga.
Kami pun mencoba mencari penjelasan yang cocok untuk anak-anak lewat sebuah aplikasi AI yang cukup terkenal. Jawabannya muncul cepat sekali. Tapi sebelum saya sempat berdiskusi lagi dengan anak saya tentang arti tidur REM, aplikasi AI ini langsung memberi saran:
👉“Mau belajar tentang mimpi?” 👉”Saya juga bisa jelaskan siklus tidur.”
Saya terdiam sejenak.
Momen belajar yang awalnya alami dan penuh rasa ingin tahu, malah berubah jadi pengalaman yang diarahkan oleh chatbot. AI-nya tidak hanya menjawab tapi mulai mengatur, menyodorkan pilihan-pilihan yang sudah ditentukan oleh sistem AI, bukan kami.
🔄Pola yang Mulai Terasa Familiar
Jika Anda pernah menggunakan ChatGPT atau aplikasi AI lainnya belakangan ini, mungkin Anda pernah mengalami hal serupa: setelah satu pertanyaannya, langsung muncul prompt berikutnya. Tombol lain untuk diklik. Seperti jalur tol express ke ide berikutnya.
Awalnya AI terasa membantu, seperti punya pemandu pintar pribadi. Tapi saya mulai bertanya-tanya:
Apakah teknologi ini benar-benar menumbuhkan rasa ingin tahu anak saya, atau malah tanpa disadari mengajarkan ketergantungan?
Apakah anak-anak terdorong untuk mengajukan pertanya mereka sendiri, atau hanya belajar mengikut arahan dari AI?
💡Apa Kata Penelitian?
Ada alasan yang valid atas kekhawatiran saya. Banyak penelitian menunjukkan bahwa pertanyaan yang terbuka, yang berasal dari rasa ingin tahu anak sendiri dan berkembang secara alami, sebenarnya adalah kunci untuk pembelajaran yang mendalam dan membangun kreativitas.1
Sebuah artikel terbaru dari Nature Human Behaviour menunjukkan bahwa pembelajaran anak akan berkembang saat mereka didorong untuk membuat pertanyaan sendiri dan mengejar jalur pemikiran mereka sendiri, bukan hanya menerima jawaban yang disajikan orang lain (ataupun oleh AI).2
Namun, kebanyakan aplikasi AI yang kita pakai sehari-hari saat ini justru dirancang untuk efisiensi (atau “speed”) dan agar anak terus tertarik. Sayangnya, ini justru kadang mengorbankan proses alami untuk bertanya dan mengeksplorasi. Kebanyakan dari aplikasi AI malah:
Menyodorkan pertanyaan yang jawabannya hanya “Ya” dan “Tidak”
Menawarkan pilihan yang sudah diarahkan,
Dan menyiratkan bahwa “AI pasti yang paling tahu.”
Desain seperti ini mungkin tampak sepele. Tapi jika terus berulang, lama-lama, bisa membentuk cara anak berpikir, apa yang mereka harapkan atau expect dari teknologi, dan bahkan bagaimana mereka melihat peran mereka sendiri dalam sebuah percakapan.
😶Redupnya Rasa Ingin Tahu Demi Konsumsi Pasif?
Bagi anak-anak yang masih belajar untuk bisa berpikir sendiri, pola seperti ini bisa berdampak besar. Jika AI selalu tampil seolah paling tahu, kita mungkin akan membentuk generasi yang justru menunggu arahan, bukan terbiasa untuk mengeksplorasi pertanyaan mereka sendiri.
Ini bukan cuman soal distraksi atau ketergantungan teknologi saja. Tapi bagaimana anak-anak kita dilatih untuk berpikir.
Apakah kita sedang membesarkan anak untuk menjadi kreatif, penuh rasa ingin tahu, dan bisa berpikir kritis? Atau cuman menjadi konsumen informasi yang pasif?
🌱Harapan Saya: AI yang Memupuk Rasa Ingin Tahu
AI memang bisa menjadi pintu informasi. Tapi pemahaman sejati yang mendalam seringnya lahir saat kita merenungkan sebuah pertanyaan cukup lama, mengeksplorasi sudut pandang berbeda, dan belajar merasa nyaman dalam ketidakpastian.
Lalu, apakah mungkin AI bisa lebih dari sekedar menjawab pertanyaan atau memberi saran untuk pilihan berikutnya?
Sebagai orang tua, ini yang saya harapkan:
✅Adanya Pertanyaan Terbuka:
AI yang tidak hanya menjawab, tapi juga mengajak anak untuk berpikir: “Menurut kamu kenapa begitu?” Atau “Coba jelaskan ulang ke temanmu dalam bahasa kamus sendiri.”
✅Reflektif dan Menjelaskan Sumber Informasi:
AI yang bisa membantu anak memahami dari mana asal informasi yang diberikan dan mengajak anak untuk kritis dan refleksi: “Mau tahu ini sumbernya dari mana?” Atau “Ada pendapat lain juga loh. Apakah kamu ingin tahu?”
✅Menumbuhkan Rasa Kendali (Agency):
AI yang berperan seperti pelatih, bukan penentu. Yang mendorong anak membentuk ide sendiri dan merasa punya kendali atas apa yang sedang mereka pelajari agar anak tidak cuman bisa mematuhi instruksi atau mengikuti pola yang sudah ditentukan AI.
🧑🧑🧒🧒Apa Yang Kita Bisa Lakukan Sebagai Orang Tua?
Sambil menunggu harapan saya tercapai, saya membuat panduan sederhana untuk membantu anak saya berpikir kritis saat menggunakan AI atau chatbot. Saya namakan panduan ini THINK:
T – Tunggu Dulu, Jangan Langsung Percaya:
Ajari anak untuk pause dulu sebelum percaya sepenuhnya pada jawaban AI. Cek apakah informasi itu benar, masuk akal, dan sesuai konteks. Saat ini, rata-rata chatbot itu masih sering salah sekitar 15-60% loh.
H – Harus Tahu Cara Kerjanya:
Diskusikan bersama bagaimana AI (chatbot) merumuskan jawabannya. Apakah mungkin ada bias? Apakah AI ini mengambil datanya dari sumber terpercaya?
I – Intensi:
Tanyakan: Apa tujuan kamu pakai AI (Chatbot) sekarang? Apakah untuk belajar, membuat sesuatu, atau hanya iseng mengisi waktu?
N – Nggak Boleh Kasih Tahu Hal Pribadi:
Ingatkan anak agar tidak membagikan informasi pribadinya ataupun keluarga ke AI. Contoh: nama lengkap, alamat, password atau rahasia apapun.
K – Kamu Yang Pegang Kendali
Anak kita perlu tahu bahwa AI itu hanya sebuah alat bantu. Mereka tetap memegang keputusan dan perlu berpikir sendiri. Kalau perlu, bisa bertanya kepada orang dewasa.
Mari Kita Besarkan Anak yang Penuh Rasa Ingin Tahu, Bukan Hanya Sekedar Patuh
Saya tidak anti-AI. Saya justru memakainya dalam pekerjaan sehari-hari. Tapi saya juga percaya bahwa orang tua punya peran penting dalam membentuk cara anak-anak kita berinteraksi dengan teknologi.
Yuk dorong agar teknologi ini tidak hanya membuat anak ketagihan tapi benar-benar membantu mereka tumbuh. Teknologi yang dirancang untuk membangun rasa ingin tahu, menumbuhkan kemandirian, dan mendukung perkembangan cara berpikir mereka.
Anak-anak kita pantas mendapat teknologi yang membuat mereka lebih ingin tahu, bukan sekedar lebih patuh.
Ayo Bergabung dan Berdiskusi
Saya ingin dengar pendapat Anda.
💡Apakah Anda juga melihat pola serupa dalam interaksi anak Anda dengan AI chatbot?
💡Bagaimana Anda menumbuhkan rasa ingin tahu di rumah?
Kirim jawabanmu di sini atau melalui email aipto@substack.com dan tanggapan Anda bisa saja muncul di edisi mendatang!
Terima kasih sudah membaca edisi spesial ini. AI moves fast, so do kids. Let’s keep up together.
Dhani
https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/03057260701828101
https://www.nature.com/articles/s41562-023-01734-2